JAKARTA, ex-pose.biz.id – Fenomena kerusakan etika, moral, dan akhlak yang melanda masyarakat Indonesia kian nyata terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari perilaku kasar di media sosial, budaya ijazah palsu, hingga praktik korupsi yang merajalela, semua itu mencerminkan adanya krisis nilai yang mendasar.
Menurut Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI), akar persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi, aturan, atau reformasi institusi semata. Solusi mendasar justru harus berangkat dari kesadaran spiritual yang berpijak pada etika, moral, dan akhlak.
“Untuk memasuki wilayah spiritual diperlukan etika yang kuat dan konsisten. Hanya dengan jiwa yang bersih, jujur, dan ikhlas, manusia bisa mencapai akhlak yang mulia,” tegas pernyataan GMRI dalam kajiannya.
GMRI menekankan bahwa spiritualitas bukan sekadar ritual atau perjalanan batin, melainkan jalan hidup yang menuntut kebersihan hati, keikhlasan, serta kesadaran penuh akan keterbatasan kuasa manusia. Sementara selebihnya merupakan wilayah kuasa Tuhan.
Fenomena degradasi moral, menurut GMRI, semakin jelas terlihat dalam dunia pendidikan yang lebih menekankan kelulusan ketimbang kualitas. Hal ini membuka ruang suburnya praktik gelar dan ijazah palsu. Dari sana, lahir budaya kepalsuan yang menjalar ke dunia politik, ekonomi, sosial, bahkan agama.
“Budaya tipu daya akibat kepalsuan itu kini merambah ke semua lini, bahkan ke aparat penegak hukum. Fenomena korupsi berjamaah menunjukkan betapa dimensi spiritual sudah terabaikan,” jelas pernyataan tersebut.
Karena itu, GMRI menyerukan pentingnya gerakan kebangkitan kesadaran spiritual untuk membenahi bangsa. Reformasi lembaga tanpa pemimpin yang berkarakter spiritual dianggap tidak akan mampu membawa perubahan.
“Yang dibutuhkan bangsa ini adalah pemimpin dengan kecerdasan spiritual, yang sadar dan paham bahwa segala sesuatu tidak bisa mengabaikan dimensi ilahiah,” tandas GMRI.
Posting Komentar